Sejarah Nama Indonesia
Posted : 14 April 2011
by : povk freeyork
Kronik- kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan- hai ("Kepulauan Laut Selatan").
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama
yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar
seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana , sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas",
diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan
Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa ). Nama Latin untuk kemenyan , benzoe, berasal dari nama bahasa Arab , luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab
memperoleh kemenyan dari batang
pohon Styrax sumatrana yang dahulu
hanya tumbuh di Sumatera. Sampai
hari ini jemaah haji kita masih sering
dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia
dari luar Jawa sekali pun.
Dalam
bahasa Arab juga dikenal nama-nama
Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi ), dan Sundah (Sunda) yang disebut Kulluh Jawi ("semuanya
Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama
kali datang beranggapan bahwa Asia
hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara
Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia.
Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh
nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel
Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama
lain yang kelak juga dipakai adalah
"Kepulauan Melayu " (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel
Malais).
Unit politik yang berada di bawah
jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia- Belanda).
Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To- Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran
Multatuli, pernah memakai nama yang
spesifik untuk menyebutkan
kepulauan Indonesia, yaitu
"Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau).
Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang
populer, walau pernah menjadi nama
surat kabar dan organisasi pergerakan
di awal abad ke-20.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan,
Journal of the Indian Archipelago and
Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")),
yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian
pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl ( 1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On
the Leading Characteristics of the
Papuan, Australian and Malay-
Polynesian Nations ("Pada
Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-
bangsa Papua, Australia dan Melayu- Polinesia").
Dalam artikelnya itu Earl
menegaskan bahwa sudah tiba
saatnya bagi penduduk Kepulauan
Hindia atau Kepulauan Melayu untuk
memiliki nama khas (a distinctive
name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan
penyebutan India yang lain.
Earl
mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis
(diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris): "... Penduduk Kepulauan Hindia atau
Kepulauan Melayu masing-masing
akan menjadi "Orang Indunesia" atau
"Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama
Malayunesia (Kepulauan Melayu)
daripada Indunesia (Kepulauan Hindia),
sebab Malayunesia sangat tepat untuk
ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa
juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa ).
Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam
tulisannya itu Earl memang
menggunakan istilah Malayunesia dan
tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga,
halaman 252-347.
James Richardson
Logan menulis artikel The Ethnology of
the Indian Archipelago ("Etnologi dari
Kepulauan Hindia").
Pada awal
tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan
tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan.
Logan kemudian memungut nama
Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf U digantinya dengan huruf O agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia
muncul di dunia dengan tercetak pada
halaman 254 dalam tulisan Logan
(diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan
mendukung "Malayunesian". Saya
lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau
Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia"
agaknya Logan tidak menyadari
bahwa di kemudian hari nama itu
akan menjadi nama resmi.
Sejak saat
itu Logan secara konsisten
menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan
lambat laun pemakaian istilah ini
menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
[1] Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die
Inseln des Malayischen Archipel
("Indonesia atau Pulau-pulau di
Kepulauan Melayu") sebanyak lima
volume, yang memuat hasil
penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880.
Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di
kalangan sarjana Belanda, sehingga
sempat timbul anggapan bahwa istilah
"Indonesia" itu ciptaan Bastian.
Pendapat yang tidak benar itu, antara
lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil
istilah "Indonesia" itu dari tulisan-
tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia"
adalah Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan
sebagai pengganti Indisch ("Hindia")
oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917).
Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër
("orang Indonesia").
¤Politik¤
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah
ilmiah dalam etnologi dan geografi itu
diambil alih oleh tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan Indonesia,
sehingga nama "Indonesia" akhirnya
memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan
kemerdekaan.
Sebagai akibatnya,
pemerintah Belanda mulai curiga dan
waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi
Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di
Negeri Belanda (yang terbentuk tahun
1908 dengan nama Indische Vereeniging ) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia.
Majalah
mereka, Hindia Poetra, berganti nama
menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam
tulisannya,
"Negara Indonesia Merdeka yang akan
datang (de toekomstige vrije
Indonesische staat) mustahil disebut
"Hindia-Belanda".
Juga tidak "Hindia"
saja, sebab dapat menimbulkan
kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia
menyatakan suatu tujuan politik (een
politiek doel), karena melambangkan
dan mencita-citakan suatu tanah air di
masa depan, dan untuk
mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan
segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924.
Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama
menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan
Nationaal Indonesische Padvinderij
(Natipij).
Itulah tiga organisasi di tanah
air yang mula-mula menggunakan
nama "Indonesia". Akhirnya nama
"Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada
Kerapatan Pemoeda-Pemoedi
Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo
Kartohadikusumo, mengajukan mosi
kepada Pemerintah Belanda agar
nama Indonesië diresmikan sebagai
pengganti nama "Nederlandsch-Indie".
Permohonan ini ditolak.
Dengan pendudukan Jepang pada
tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda".
Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.